GEREJA DIASPORA
1. PENGANTAR
Gereja di
Indonesia, dalam proses perkembangannya cukup menarik untuk diamati, khususnya ketika
kita mendalami tulisan Romo Mangunwijaya mengenai “Gereja Diaspora”. Dalam
Gereja diaspora itu, Beliau menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi di
Indonesia, yang mempengaruhi kehidupan menggereja; kehidupan umat yang
tersebar, tidak hanya secara geografis, tetapi terutama juga secara psikologis
dan kultural.
Perkembangan dunia
yang membawa manusia pada taraf dan pola hidup tertentu juga berpengaruh pada
aspek-aspek kehidupan dan pelayanan (khususnya bila memperhatikan aspek pastoral)
Gereja. Oleh karena itu, struktur organisasi Gereja yang kaku, birokratis dan
hierarkis, perlu disempurnakan, diperbaharui dan disegarkan dengan pola
kehidupan baru. Dalam hal ini, Romo Mangun membicarakan Gereja sebagai
organisme, untuk mengganti struktur organisasi yang kaku. Dari sini kita perlu
menyadari bahwa Romo Mangun tidak sekedar membuka wawasan kita mengenai konsep
tentang Gereja Diaspora, tetapi lebih dari itu mau mengajak kita untuk memahami
situasi dan kondisi zaman yang menuntut adanya pembaharuan dalam cara dan nilai
dari karya Gereja, khusus dengan memperhatikan aspek pastoralnya.
2. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Salah satu
pesan dari para Uskup Asia (tahun 1971) ialah supaya Gereja kecil di
tengah-tengah agama-agama Asia dan bersama ratusan juta orang miskin ber-opsi
untuk orang miskin. Itulah yang menjadi inspirasi bagi Rm. Mangunwijaya dalam
mengulas gagasannya mengenai Gereja Diaspora.[1]
Ada pun pokok-pokok ajaran sosial yang tampak jelas merupakan keprihatinan dari
Romo Mangun ini bermaksud membesarkan hati orang Kristiani untuk hidup dalam
diaspora.[2]
Namun, di
balik semuanya, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang pemikiran Romo
Mangun ini? Pertanyaan ini amat penting untuk mengawali pemahaman kita mengenai
konsep Gereja Diaspora yang digagasnya tersebut.
Pertama-tama,
perlu dipahami bahwa tema Gereja Diaspora yang dipaparkan oleh Rm. Mangun ini
bertitik tolak dari situasi dan kondisi Gereja Katolik di Indonesia. Hal ini
erat kaitannya dengan perkembangan atau perubahan situasi di Indonesia, sejak
kedatangan para misionaris Eropa (periode sebelum Perang Dunia II[3]) hingga
keadaan yang sudah berubah total, yang bila dilihat dari segi pastoral, memang
memerlukan pola pendekatan baru. Misalnya, sebagai perbandingan yang tampak
kontras; dahulu irama kehidupan di paroki sudah dengan sendirinya tertata rapi
cermat, dan irama berulang sama seiring dengan pengulangan musim semi, musim
panas, musim gugur, musim salju yang tak pernah berubah menentukan jadwal tahun
liturgi; suatu bentuk kehidupan yang tenang dan damai dalam suatu wilayah
(teritorium) aman mapan terisolasi, dengan mayoritas beragama Katolik yang
homogen.[4] Keadaan
yang demikian sangat mendukung pengadaan kegiatan bersama di antara umat;
artinya ada kemudahan mengumpulkan umat.
Sebaliknya hal
yang kontras terjadi ketika badai kekuasaan penjajah (kolonial) melanda serta
memporakporandakan keberadaan umat, layaknya sisa umat Israel, anggota Gereja
pun dalam situasi “tercecer”.[5]
Kesetiaan umat akan imannya sungguh-sungguh tertantang, sebab mereka ibarat
domba tanpa gembala. Kaum klerus, biarawan-biarawati tidak dimungkinkan lagi
menjalankan tugas mereka sebagaimana mestinya. Dari sinilah, muncul kesadaran
dalam umat awam bahwa untuk tetap bertahan pada iman, mereka harus mampu hidup
secara sporadis; mampu berdiaspora bersama-sama para pengikut agama lain yang
adalah mayoritas, sebab persekutuan dan kesatuan dalam satu iman tidak mungkin
terjadi.
Sedangkan
dalam zaman perkembangan industri, segala pola kehidupan masyarakat sudah
sangat kompleks dengan rutinitas kerja yang beraneka ragam pula. Dunia dan
waktu kerja yang beraneka ragam dan bersifat trans-teritorial semakin lama,
semakin mengaburkan irama “God’s bloeiende wijngaard”. Misalnya, dalam satu
teritorium paroki, ada dosen atau mahasiswa yang menjalankan tugas di luar
pulau, tentu ini menjadi suatu kesulitan untuk menghimpun mereka semua seperti
dulu ketika orang masih akrab bekerja di tempat yang sama dengan irama kerja
yang sudah teratur rapi.[6] Situasi
baru yang terpencar-pencar ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Artinya
dibutuhkan model pendekatan pastoral yang memang sesuai dengan situasi diaspora
yang demikian. Dengan kata lain, dalam medan perutusan Gereja yang serba tidak
menentu apalagi setelah memasuki peradaban baru di zaman modern, tuntutan bagi
misi dan tugas para pelaksana reksa pastoral dituntut lebih giat menemukan
metode yang tepat sasaran.
3. PENDASARAN KITAB SUCI DAN PERKEMBANGAN GEREJA DIASPORA
Apakah Gereja
Diaspora punya tradisi yang dapat ditemukan dalam Alkitab? Ini pertanyaan yang
baik, karena bagaimanapun, dasar dan inspirasi karya Gereja ialah demi Kerajaan
Tuhan dan harus mengacu pada Kitab Suci. Itulah sebabnya untuk menapaki
diaspora, Romo Mangun menelusuri dalam Kitab Suci.[7]
Para perantau
demi Tuhan di dalam Perjanjian Lama, dilihat oleh Romo Mangun sebagai gambaran
umat Allah atau Gereja dalam perjalanan (diaspora). Beberapa tokoh penting
dalam Kitab Suci, khususnya dalam Perjanjian Lama ialah Nabi Nuh, Bapa Abraham,
keturunan Yakub di Mesir, tmat Israel yang mengalami pembuangan Babilon dan
sisa kecil yang taat kepada Allah. Dalam Perjanjian Baru, dapat kita jumpai
dalam umat Pengikut Kristus awali (Kristen Purba).
Nabi Nuh,
seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya (bdk. Kej
6:9). Ia bersama keluarganya adalah sosok tokoh yang mampu bertahan dalam
kebaikan, meskipun di sekeliling mereka banyak orang bejat moralnya. Berkat
kepercayaan atau imannya itulah (Rm. 3:28) yang menyelamatkan Nuh beserta
keluarganya. [8]Dengan
demikian, mereka merupakan sisa kecil dalam perahu yang melambangkan Gereja.
Bapa Abraham,
Bapa kaum beriman, yang bersama keluarganya, kelompok kecil, percaya taat
kepada Allah, selaku umat dalam perjalanan menuju tanah terjanji, perantau di
negeri asing. Situasi diaspora adalah situasi bagaikan perantauan ke negeri
asing; serba berpindah-pindah dan menginap dalam tenda-tenda. Jelas bersuasana
keprihatinan perjuangan, pengembanan suatu perutusan, kesendirian yang penuh risiko
dan cobaan, tetapi dapat teratasi oleh iman dan harapan, serta tertuntun oleh
kasih Tuhan.[9]
Keturunan
Yakub di Mesir, di tengah kaum yang menyembah berhala, asing, tertindas. Bangsa
Israel ketika menetap di Mesir, mereka memiliki status pendatang asing, yang
masih terjamin keberadaannya, ketika Yusuf
memegang kuasa di Mesir. Namun, setelah Yusuf meninggal, Israel yang
pada dasarnya adalah minoritas asing di negeri yang dikelilingi oleh
orang-orang asing yang dapat dipastikan tidak bersahabat akibat kecemburuan.[10]
Dapat dibayangkan bagaimana dalam situasi yang demikian, Israel yang adalah
kolektivitas suku yang kompak beradat-istiadat khas, tetapi karena kedudukan
sosiologis maupun politis di Mesir, tentu mengalami situasi diaspora.[11]Akhirnya
dipimpin oleh nabi Musa sebagai musafir menuju ke tanah terjanji.[12]
Demikian juga keadaan
bangsa Israel ketika mereka murtad, berbalik menyembah berhala, dan Allah menghukum
mereka, berupa penghancuran kerajaan Israel oleh kerajaan-kerajaan besar dari
timur, yakni Asiria dan Babilonia. Setelah itu, Israel
pun mengalami perbudakan sama seperti ketika mereka di Mesir. Terulang lagi
kehidupan sebagai budak di negeri asing, sebagai bangsa yang tercerai-berai,
sebagai diaspora yang benar-benar hidup lebih
terpencar lagi. Justru dalam keadaan tercerai-berai itu tumbuhlah
orang-orang saleh dan setia, seperti Mordechai, putri Ester yang dijadikan
selir raja, tetapi setia kepada Yahweh Tuhan. Tinggallah yang disebut sisa
Israel yang serba terserak, yakni sejumlah kecil orang-orang yang masih sungguh
beriman dan bertakwa, kebanyakan penduduk kecil, miskin, sederhana.[13]
Dari sisa
Israel ini pula lahir Maria, Ibu Yesus, Sang Mesias Juru selamat yang
dinantikan bangsa Israel. Inilah permulaan zaman Perjanjian Baru. Bahkan di
kemudian hari pun, keluarga kudus Nazaret pun melakukan perziarahan, dengan
mengungsi ke Mesir untuk sementara waktu. Inilah pencitraan Gereja sebagai
peziarah dalam negeri asing yang berjuang di tengah penindasan dunia namun
mendapat hiburan dari Tuhan.[14]
Selanjutnya,
pada awal Kristianitas berkembang (periode Gereja purba), yakni Gereja dalam
perintisan awalnya selama 4 abad sesudah Yesus naik ke surga dan Roh Kudus
menjiwai para murid-Nya pada hari Pentekosta, ini pun mencitrakan Gereja
Diaspora.[15] Umat murid Yesus generasi pertama di
abad-abad berikutnya adalah keguyuban-keguyuban minoritas, Gereja diaspora
dalam arti yang sebenar-benarnya, baik kuantitatif maupun kualitatif. Secara
geografis mereka terpencar di Yerusalem, Roma, Korintus, Galatia, Efese,
Filipi, Kolose, Tesalonika dan tempat-tempat lain di antara umat Yahudi maupun
macam-macam agama di Asia Kecil, Afrika Utara, Roma, seperti yang tampak dari
surat-surat Rasul Petrus, Yakobus dan Paulus.[16]
Gereja
Diaspora adalah Gereja kaum awam, lebih tepat: kaum sembarang orang yang
beriman kepada Yesus Kristus. Gereja yang saling tolong-menolong, berdoa bersama;
bukan karena ada perintah dan pasal-pasal Buku Hukum Gereja, akan tetapi bergerak
dari keyakinan hati nurani. Belum organisatoris, tetapi sungguh organis. Rasul
Paulus dan rasul-rasul lain di dalam persatuan iman di bawah Rasul Perdana
Petrus merupakan pimpinan rohani umat.[17]
Kaum yang
disebut kaum awam pun berfungsi gembala dan perantara kesucian, kebaikan, kebenaran,
keindahan, penghiburan, pemekaran; pendek kata, iman, harapan, cinta kasih
serta penaburan Warta Gembira bagi sesama manusia dan lingkungannya.
Teristimewa terhadap keluarga sendiri, suami-istri dan anak-anak, guru terhadap
murid, manajer terhadap karyawan, dokter terhadap pasien, kapten terhadap
kompi, ketua RT terhadap lingkungan rukun tetangga, dsb. Tidak hanya intern
terhadap anggota Gereja saja, namun juga terhadap sahabat-sahabat dan
saudara-saudara di luar Gereja.[18]
Demikianlah
Gereja Purba selama empat abad merupakan Gereja Diaspora, dengan
inti-karya-kerasulan oleh "induk pasukan" yang kini disebut awam.
Baik dalam interkomunikasi, tata organisasi dan proses saling meneguhkan iman,
harapan, dan cinta kasih Kristiani. Tumbuhnya pimpinan Gereja yang kelak
disebut Hierarki pun harus menjalani proses evolusi yang lambat, serba berjalan
spontan serta alamiah. Hukum Gereja juga hampir tidak ada yang ditulis
dibakukan, selain semacam adat kebiasaan yang tumbuh alami dan spontan juga;
lagi kontekstual menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi umat serta iklim
budaya masyarakat dan umat di masa itu.[19]
[1] Bdk. A. Sudiarja, SJ. (ed.), Tinjauan
Kritis atas Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm.
69.
[3] Y.B. Mangunwijaya, Pr., Gereja Diaspora, Yogyakarta: Kanisius,
1999, hlm. 20.
[4] Rm. Mangun menyebut situasi ini dengan “God’s
bloeiende wijngaard” (kebun anggur Tuhan yang berbungga). Bdk. Y.B. Mangunwijaya, ibid., hlm.
21.
[9] Terinspirasi oleh ini, para Bapa Konsili
Vatikan II mendefinisikan Gereja sebagai umat Allah di dalam dunia yang sedang
berjalan dalam negeri yang jauh dari Tuhannya selaku orang buangan, bagaikan
peziarah dalam negeri asing. Bdk. Ibid., hlm. 150.
Model Gereja ini adalah satu strategi untuk meninjau keberadaan umat beriman di tengah kemajuan dan perkembangan peradaban Indonesia.
BalasHapusSemoga bermanfaat.