Senin, 14 Mei 2012

GEREJA DIASPORA


GEREJA DIASPORA
1.      PENGANTAR
Gereja di Indonesia, dalam proses perkembangannya cukup menarik untuk diamati, khususnya ketika kita mendalami tulisan Romo Mangunwijaya mengenai “Gereja Diaspora”. Dalam Gereja diaspora itu, Beliau menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia, yang mempengaruhi kehidupan menggereja; kehidupan umat yang tersebar, tidak hanya secara geografis, tetapi terutama juga secara psikologis dan kultural.
Perkembangan dunia yang membawa manusia pada taraf dan pola hidup tertentu juga berpengaruh pada aspek-aspek kehidupan dan pelayanan (khususnya bila memperhatikan aspek pastoral) Gereja. Oleh karena itu, struktur organisasi Gereja yang kaku, birokratis dan hierarkis, perlu disempurnakan, diperbaharui dan disegarkan dengan pola kehidupan baru. Dalam hal ini, Romo Mangun membicarakan Gereja sebagai organisme, untuk mengganti struktur organisasi yang kaku. Dari sini kita perlu menyadari bahwa Romo Mangun tidak sekedar membuka wawasan kita mengenai konsep tentang Gereja Diaspora, tetapi lebih dari itu mau mengajak kita untuk memahami situasi dan kondisi zaman yang menuntut adanya pembaharuan dalam cara dan nilai dari karya Gereja, khusus dengan memperhatikan aspek pastoralnya.

2.      LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Salah satu pesan dari para Uskup Asia (tahun 1971) ialah supaya Gereja kecil di tengah-tengah agama-agama Asia dan bersama ratusan juta orang miskin ber-opsi untuk orang miskin. Itulah yang menjadi inspirasi bagi Rm. Mangunwijaya dalam mengulas gagasannya mengenai Gereja Diaspora.[1] Ada pun pokok-pokok ajaran sosial yang tampak jelas merupakan keprihatinan dari Romo Mangun ini bermaksud membesarkan hati orang Kristiani untuk hidup dalam diaspora.[2]
Namun, di balik semuanya, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang pemikiran Romo Mangun ini? Pertanyaan ini amat penting untuk mengawali pemahaman kita mengenai konsep Gereja Diaspora yang digagasnya tersebut.
Pertama-tama, perlu dipahami bahwa tema Gereja Diaspora yang dipaparkan oleh Rm. Mangun ini bertitik tolak dari situasi dan kondisi Gereja Katolik di Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan perkembangan atau perubahan situasi di Indonesia, sejak kedatangan para misionaris Eropa (periode sebelum Perang Dunia II[3]) hingga keadaan yang sudah berubah total, yang bila dilihat dari segi pastoral, memang memerlukan pola pendekatan baru. Misalnya, sebagai perbandingan yang tampak kontras; dahulu irama kehidupan di paroki sudah dengan sendirinya tertata rapi cermat, dan irama berulang sama seiring dengan pengulangan musim semi, musim panas, musim gugur, musim salju yang tak pernah berubah menentukan jadwal tahun liturgi; suatu bentuk kehidupan yang tenang dan damai dalam suatu wilayah (teritorium) aman mapan terisolasi, dengan mayoritas beragama Katolik yang homogen.[4] Keadaan yang demikian sangat mendukung pengadaan kegiatan bersama di antara umat; artinya ada kemudahan mengumpulkan umat.
Sebaliknya hal yang kontras terjadi ketika badai kekuasaan penjajah (kolonial) melanda serta memporakporandakan keberadaan umat, layaknya sisa umat Israel, anggota Gereja pun dalam situasi “tercecer”.[5] Kesetiaan umat akan imannya sungguh-sungguh tertantang, sebab mereka ibarat domba tanpa gembala. Kaum klerus, biarawan-biarawati tidak dimungkinkan lagi menjalankan tugas mereka sebagaimana mestinya. Dari sinilah, muncul kesadaran dalam umat awam bahwa untuk tetap bertahan pada iman, mereka harus mampu hidup secara sporadis; mampu berdiaspora bersama-sama para pengikut agama lain yang adalah mayoritas, sebab persekutuan dan kesatuan dalam satu iman tidak mungkin terjadi.
Sedangkan dalam zaman perkembangan industri, segala pola kehidupan masyarakat sudah sangat kompleks dengan rutinitas kerja yang beraneka ragam pula. Dunia dan waktu kerja yang beraneka ragam dan bersifat trans-teritorial semakin lama, semakin mengaburkan irama “God’s bloeiende wijngaard”. Misalnya, dalam satu teritorium paroki, ada dosen atau mahasiswa yang menjalankan tugas di luar pulau, tentu ini menjadi suatu kesulitan untuk menghimpun mereka semua seperti dulu ketika orang masih akrab bekerja di tempat yang sama dengan irama kerja yang sudah teratur rapi.[6] Situasi baru yang terpencar-pencar ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Artinya dibutuhkan model pendekatan pastoral yang memang sesuai dengan situasi diaspora yang demikian. Dengan kata lain, dalam medan perutusan Gereja yang serba tidak menentu apalagi setelah memasuki peradaban baru di zaman modern, tuntutan bagi misi dan tugas para pelaksana reksa pastoral dituntut lebih giat menemukan metode yang tepat sasaran.

3.      PENDASARAN KITAB SUCI DAN PERKEMBANGAN GEREJA DIASPORA
Apakah Gereja Diaspora punya tradisi yang dapat ditemukan dalam Alkitab? Ini pertanyaan yang baik, karena bagaimanapun, dasar dan inspirasi karya Gereja ialah demi Kerajaan Tuhan dan harus mengacu pada Kitab Suci. Itulah sebabnya untuk menapaki diaspora, Romo Mangun menelusuri dalam Kitab Suci.[7]
Para perantau demi Tuhan di dalam Perjanjian Lama, dilihat oleh Romo Mangun sebagai gambaran umat Allah atau Gereja dalam perjalanan (diaspora). Beberapa tokoh penting dalam Kitab Suci, khususnya dalam Perjanjian Lama ialah Nabi Nuh, Bapa Abraham, keturunan Yakub di Mesir, tmat Israel yang mengalami pembuangan Babilon dan sisa kecil yang taat kepada Allah. Dalam Perjanjian Baru, dapat kita jumpai dalam umat Pengikut Kristus awali (Kristen Purba).
Nabi Nuh, seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya (bdk. Kej 6:9). Ia bersama keluarganya adalah sosok tokoh yang mampu bertahan dalam kebaikan, meskipun di sekeliling mereka banyak orang bejat moralnya. Berkat kepercayaan atau imannya itulah (Rm. 3:28) yang menyelamatkan Nuh beserta keluarganya. [8]Dengan demikian, mereka merupakan sisa kecil dalam perahu yang melambangkan Gereja.
Bapa Abraham, Bapa kaum beriman, yang bersama keluarganya, kelompok kecil, percaya taat kepada Allah, selaku umat dalam perjalanan menuju tanah terjanji, perantau di negeri asing. Situasi diaspora adalah situasi bagaikan perantauan ke negeri asing; serba berpindah-pindah dan menginap dalam tenda-tenda. Jelas bersuasana keprihatinan perjuangan, pengembanan suatu perutusan, kesendirian yang penuh risiko dan cobaan, tetapi dapat teratasi oleh iman dan harapan, serta tertuntun oleh kasih Tuhan.[9]
Keturunan Yakub di Mesir, di tengah kaum yang menyembah berhala, asing, tertindas. Bangsa Israel ketika menetap di Mesir, mereka memiliki status pendatang asing, yang masih terjamin keberadaannya, ketika Yusuf  memegang kuasa di Mesir. Namun, setelah Yusuf meninggal, Israel yang pada dasarnya adalah minoritas asing di negeri yang dikelilingi oleh orang-orang asing yang dapat dipastikan tidak bersahabat akibat kecemburuan.[10] Dapat dibayangkan bagaimana dalam situasi yang demikian, Israel yang adalah kolektivitas suku yang kompak beradat-istiadat khas, tetapi karena kedudukan sosiologis maupun politis di Mesir, tentu mengalami situasi diaspora.[11]Akhirnya dipimpin oleh nabi Musa sebagai musafir menuju ke tanah terjanji.[12]
Demikian juga keadaan bangsa Israel ketika mereka murtad, berbalik menyembah berhala, dan Allah menghukum mereka, berupa penghancuran kerajaan Israel oleh kerajaan-kerajaan besar dari timur, yakni Asiria dan Babilonia. Setelah itu, Israel pun mengalami perbudakan sama seperti ketika mereka di Mesir. Terulang lagi kehidupan sebagai budak di negeri asing, sebagai bangsa yang tercerai-berai, sebagai diaspora yang benar-benar hidup lebih  terpencar lagi. Justru dalam keadaan tercerai-berai itu tumbuhlah orang-orang saleh dan setia, seperti Mordechai, putri Ester yang dijadikan selir raja, tetapi setia kepada Yahweh Tuhan. Tinggallah yang disebut sisa Israel yang serba terserak, yakni sejumlah kecil orang-orang yang masih sungguh beriman dan bertakwa, kebanyakan penduduk kecil, miskin, sederhana.[13]
Dari sisa Israel ini pula lahir Maria, Ibu Yesus, Sang Mesias Juru selamat yang dinantikan bangsa Israel. Inilah permulaan zaman Perjanjian Baru. Bahkan di kemudian hari pun, keluarga kudus Nazaret pun melakukan perziarahan, dengan mengungsi ke Mesir untuk sementara waktu. Inilah pencitraan Gereja sebagai peziarah dalam negeri asing yang berjuang di tengah penindasan dunia namun mendapat hiburan dari Tuhan.[14]
Selanjutnya, pada awal Kristianitas berkembang (periode Gereja purba), yakni Gereja dalam perintisan awalnya selama 4 abad sesudah Yesus naik ke surga dan Roh Kudus menjiwai para murid-Nya pada hari Pentekosta, ini pun mencitrakan Gereja Diaspora.[15]  Umat murid Yesus generasi pertama di abad-abad berikutnya adalah keguyuban-keguyuban minoritas, Gereja diaspora dalam arti yang sebenar-benarnya, baik kuantitatif maupun kualitatif. Secara geografis mereka terpencar di Yerusalem, Roma, Korintus, Galatia, Efese, Filipi, Kolose, Tesalonika dan tempat-tempat lain di antara umat Yahudi maupun macam-macam agama di Asia Kecil, Afrika Utara, Roma, seperti yang tampak dari surat-surat Rasul Petrus, Yakobus dan Paulus.[16]
Gereja Diaspora adalah Gereja kaum awam, lebih tepat: kaum sembarang orang yang beriman kepada Yesus Kristus. Gereja yang saling tolong-menolong, berdoa bersama; bukan karena ada perintah dan pasal-pasal Buku Hukum Gereja, akan tetapi bergerak dari keyakinan hati nurani. Belum organisatoris, tetapi sungguh organis. Rasul Paulus dan rasul-rasul lain di dalam persatuan iman di bawah Rasul Perdana Petrus merupakan pimpinan rohani umat.[17]
Kaum yang disebut kaum awam pun berfungsi gembala dan perantara kesucian, kebaikan, kebenaran, keindahan, penghiburan, pemekaran; pendek kata, iman, harapan, cinta kasih serta penaburan Warta Gembira bagi sesama manusia dan lingkungannya. Teristimewa terhadap keluarga sendiri, suami-istri dan anak-anak, guru terhadap murid, manajer terhadap karyawan, dokter terhadap pasien, kapten terhadap kompi, ketua RT terhadap lingkungan rukun tetangga, dsb. Tidak hanya intern terhadap anggota Gereja saja, namun juga terhadap sahabat-sahabat dan saudara-saudara di luar Gereja.[18]
Demikianlah Gereja Purba selama empat abad merupakan Gereja Diaspora, dengan inti-karya-kerasulan oleh "induk pasukan" yang kini disebut awam. Baik dalam interkomunikasi, tata organisasi dan proses saling meneguhkan iman, harapan, dan cinta kasih Kristiani. Tumbuhnya pimpinan Gereja yang kelak disebut Hierarki pun harus menjalani proses evolusi yang lambat, serba berjalan spontan serta alamiah. Hukum Gereja juga hampir tidak ada yang ditulis dibakukan, selain semacam adat kebiasaan yang tumbuh alami dan spontan juga; lagi kontekstual menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi umat serta iklim budaya masyarakat dan umat di masa itu.[19]



[1] Bdk. A. Sudiarja, SJ. (ed.), Tinjauan Kritis atas Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 69.
[2] Bdk. Ibid., hlm. 70.
[3] Y.B. Mangunwijaya, Pr., Gereja Diaspora, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 20.
[4] Rm. Mangun menyebut situasi ini dengan “God’s bloeiende wijngaard” (kebun anggur Tuhan yang berbungga).  Bdk. Y.B. Mangunwijaya, ibid., hlm. 21.
[5] Ibid., hlm. 27.
[6] Bdk. Ibid., hlm. 36.
[7] Bdk. A. Sudiarja, SJ. (ed.), op.cit., hlm. 130.
[8] Bdk. Y.B. Mangunwijaya, op.cit., hlm. 148.
[9] Terinspirasi oleh ini, para Bapa Konsili Vatikan II mendefinisikan Gereja sebagai umat Allah di dalam dunia yang sedang berjalan dalam negeri yang jauh dari Tuhannya selaku orang buangan, bagaikan peziarah dalam negeri asing. Bdk. Ibid., hlm. 150.
[10] Bdk. Ibid., hlm. 153.
[11] Bdk. Ibid.
[12] Bdk. A. Sudiarja, SJ. (ed.), op.cit., hlm. 130.
[13] Bdk. Y.B. Mangunwijaya, op.cit., hlm. 158.
[14] Bdk. Ibid., hlm. 162.
[15] Bdk. Ibid., hlm. 163.
[16] Ibid., hlm. 164.
[17] Ibid.
[18] Ibid., hlm. 169.
[19] Ibid.